Rio kali ini mengunci gerak tubuh Lila. Menahan amukannya. Kemarahan Lila yang entah karena sebab apa. Segala kemarahan yang selalu dipendamnya sejak kecil tumpah hanya di hadapan Rio.
Kemarahannya pada perceraian orang tua, kemarahannya pada ketidak perdulian. Kemarahannya pada sikap orang tua yang selalu berburu harta dan prestise. Kemarahannya karena dilahirkan dari keluarga yang berantakan ini. Kemarahannya pada semua orang yang menghina harga dirinya.
Entah hanya kepada Rio kemarahan Lila tertumpah. Entah apa sebabnya segala emosi Lila bisa menggelegak ke permukaan bila di hadapan Rio. Rio seperti tempatnya ber-cermin. Melihat sosok dirinya sesungguhnya. Yang carut marut dibathinnya. Yang penuh luka dan borok. Ia seperti berusaha menyembuhkannya, tanpa rasa jijik. Dan tidak menutup-nutupi semua itu.
Entah hanya kepada Rio kemarahan Lila tertumpah. Entah apa sebabnya segala emosi Lila bisa menggelegak ke permukaan bila di hadapan Rio. Rio seperti tempatnya ber-cermin. Melihat sosok dirinya sesungguhnya. Yang carut marut dibathinnya. Yang penuh luka dan borok. Ia seperti berusaha menyembuhkannya, tanpa rasa jijik. Dan tidak menutup-nutupi semua itu.
Itulah mengapa Rio tiba-tiba kerap hadir saat ia berulangkali mencoba menghabisi hidupnya sendiri. Padahal ponselnya selalu ia matikan ketika rasa ingin mati itu muncul ke permukaan. Rio hadir seakan bisa membaca dan memiliki kontak bathin dengan Lila. Rio bagi Lila seperti setitik cahaya dalam gelapnya kabut yang menyelimuti kehidupannya. Rio dengan setia menungguinya melewati masa-masa berat menahan amukan Lila dalam kecanduannya akan zat-zat narkoba.
***
Selepas Rio pergi dari rumah Lila, ia malah bergegas menumpang bus ke arah downtown untuk mendapatkan barang haram tersebut dari bandar langganannya. Lila tidak pernah kehilangan kesadarannya akibat menghirup barang haram itu. Tapi pengaruhnya adalah membuatnya ingin selalu beraktivitas, beberes pekerjaan-pekerjaannya sampai re-arrange segala perabotan di dalam kamarnya. Ini semua sekaligus untuk tidak memperdulikan kemunculan halusinasi makhluk-makhluk asing yang ada di sekelilingnya.
Halusinasi ini muncul kembali di hadapan Lila. Suasana riuh orang berseliweran dengan bahasa yang sama sekali tidak dimengerti olehnya. Sesosok makhluk tinggi besar dan hitam masih memperhatikannya dari sudut ruangan. Samar-samar Lila merasakan itu semua saat tubuhnya rebah di atas springbed ber-seprai biru laut.
Sebuah tembang lawas mengalun dari perangkat musiknya. Suara merdu Lionel Richie membangkitkan tubuhnya untuk kembali ‘beberes’ kamar besarnya ini. Kembali membuka-buka isi lemari pakaiannya, mengatur tumpukan baju dan susunan hanger. Membuka-buka koleksi
sepatu-sepatunya, yang banyak dibeli dari negara-negara Eropa.
Dibersihkannya meja rias dengan cermin oval, yang di atasnya masih tergeletak beberapa ‘peralatan’ untuk menghirup bubuk-bubuk putih laknat. Lalu dia simpan dengan apik di sebuah kotak kecil, dan dimasukkan ke sudut laci.
Padahal tadi siang ia berhasil melalui kegelisahannya akan kebutuhan bubuk-bubuk itu. Rio dengan setia menungguinya. Tapi kali ini Rio tidak perlu bersusah payah mengeluarkan segenap energinya untuk melawan ‘amukan’nya.
Selama setahun bekerja di Fremantle, hampir tidak pernah Lila melihat ombak berkejaran di pantai ini. Air laut yang tenang, burung-burung yang datang dan pergi membuat Lila terasa damai melihatnya. Angin laut menghembus dengan lembut, menyibak helai-helai rambut Lila saat dia baru saja selesai menyusun piring-piring di 'fish market cafe' tempat dia bekerja. Sesekali Lila membersihkan meja-meja yang telah di kotori oleh pelanggan cafenya.
Tepukan kecil di pundak menghentikannya sejenak dari aktivitasnya membersihkan meja makan di cafe Freemantle itu. Ashika, room-mate-nya datang menghampiri dengan senyum ceria.
“La, sore ini adik gue mau datang ke sini. Besok sore kita barbeque-an lagi yuk di Swan River.. besokkan lo dayoff, lets have fun mate.”
“Wah, asyik dong…, okay deh nanti pulang dari sini gue sempetin beli-beli keperluannya.. Sip, sip.."
“Gak usah, lo kan masih kerja sekarang, nanti pulang udah keburu malem. Biar gue aja yang beli-beli, Sekalian belanja kebutuhan bulanan. Gue cabut dulu ya… sampe ketemu nanti malem mate."
"Ooo.. okay deh mate.. see yaa leta' mate.. Hehehehehe.." Lila cengengesan pada Ashika.
Ashika berlalu sambil menenteng tas LV besarnya.
Lila kembali termangu melihat jauh ke arah laut. Angin yang menghembus dan buih-buih air laut serasa memainkan hatinya. Nampak samar ekor ikan lumba-lumba kembali tenggelam ke dalamnya lautan dari kejauhan. Sedalam hati Lila yang tengah merindu kehangatan. Kehangatan kasih sayang yang tulus. Namun entah dari siapa, Lila pun terkesiap kembali membereskan piring-piring kotor dan membawanya ke belakang cafe tempat dia bekerja.
Lila melepaskan atribut cafe yang melekat di badannya, lalu bergegas mengambil tasnya dan berpamitan kepada Mrs. Livy, bosnya untuk pulang lebih awal.
Menyusuri tepi pelabuhan di Freemantle ini menjadi kegiatan favorite bagi siapa pun juga, dan Lila sangat senang jika dia berlama-lama menelusuri pelabuhan sambil berjalan diatas bebatuan dan sesekali melihat para pemancing yang asik dengan pancingannya. Langkah Lila pun semakin jauh dan tak berujung. Lila sangat suka kesendiriannya, di tempat inilah dia sering menyendiri sambil melepas segala beban pikiran yang menyesakkan di dadanya.
Rio mulai jarang menghubunginya. Paling hanya bertegur sapa via FB. Mungkin dia sedang sibuk dengan urusannya atau pulsa ponselnya sedang habis. Saat-saat seperti ini memang hanya kepada Rio saja Lila bisa curhat panjang kali lebar akan kerinduannya pada tanah air.
Bukan rindunya pada keluarga, jika teringat keluarga Lila semakin kesal dan tak ada niat untuk kembali ke Indonesia. Lila hanya rindu suasana Ramadhan di Indonesia. Suara riuh orang ‘ngabuburit’ di jalan-jalan. Suara riuh para pedagang dadakan menjajakan hidangan buka puasa. Bahkan suara gaduh anak-anak bermain kembang api di malam hari usai pulang tarawih.
Berpuasa di mana saja mungkin sama, apalagi saat ini di Perth masih musim dingin. Puasa akan terasa pendek, matahari lebih cepat terbenam. Tapi kalo lagi musim panas, puasa akan terasa lama dan panjang, dan mataharipun lama sekali terbenam. Ya kali ini Lila tidak akan mandi keringat seperti jika bulan puasa jatuh pada musim panas yang suhunya bisa lebih dari 45 derajat.
Malam telah larut saat Lila kembali ke rumah Ashika. Suasana begitu hening, nampaknya Ashika memang sudah terlelap.
Lila tinggal di rumah keluarga Ashika, yang keturunan India, anak dari pengusaha pakaian dan tekstil yang memiliki banyak toko, baik di Indonesia, Singapura, Malaysia, bahkan di Australia. Meski tinggal dalam satu rumah, Ashika sama sekali tidak pernah mengetahui bahwa selama ini Lila selalu pulang larut bukan dari tempat kerjanya, melainkan dari apartemen teman lainnya.
Lila memang sangat pandai menyembunyikan kegiatannya ini bahkan dari orang-orang terdekatnya. Lila bisa menutup rapat-rapat kebiasaan buruknya dengan tidak pernah pulang dalam keadaan terhuyung-huyung. Narkoba bagi Lila memang bukan untuk mabuk ataupun nge-fly. Ya Lila hampir tak pernah mabuk, entah kenapa mungkin metabolisme tubuhnya telah terbiasa menerima zat-zat terlarang itu semenjak duduk di bangku SMP, atau memang ada ke khususan pada tubuhnya. Entahlah..
Lila menggunakan narkoba hanya sekedar pelariannya untuk merasakan adanya ‘kehangatan.’ Dari pantulan cermin, sesosok makhluk asing kembali menatapnya tajam. Tubuh Lila rebah di tempat tidur, mata terpejam, bathinnya menangis.
“Tuhan…, aku hanya ingin ini semua berakhir….” bisiknya lirih.
***
angin… sshh… sshh… sshh…
tetes air… tes… tes… tes…
slentingan garpu… ting… ting… ting…
tabuh bedug… dugh… dugh… dugh…
lonceng… teng… teng… teng…
riuh dan simpang siur terdengar
lalu mana yang kucari…?
ini, ini, ini, ya… ini yang ku cari
suara hati… suara hatiku… suara tangisku…
ku pendam sendiri… ku pikul sendiri… ku remuk sendiri
aku bingung… aku lelah… aku pasrah
olehmu, olehnya, oleh dia, oleh mereka
aku diam tanpa suara
aku bisu tanpa berkata
aku mati tanpa rasa
aku lelah tanpa terasa
aku buta dan nestapa
hilang… hilang… hilang
terbang… jauh melayang bersama bintang, bersama bulan, bersama semua cinta dan kebaikan
aku menari bersama ilalang… bersembunyi di balik gersang
aku ya aku, seribu tanya dusta dan kebenaran…
aku ya aku, seribu bisu hanya aku yang tahu…
No comments:
Post a Comment