Saturday, May 17, 2014

Cerpen : Perasaan Itu... #Part 1



Aku yang dulu hanya bisa menangis.. Terus menangis... Dan menangis... Tinggal bersama orangtua asuh yang hanya memperalatku saja... Dijadikannya aku budak kelaparan. Setiap harinya aku harus mencuci dan membersihkan seluruh rumah. Jika ada kesalahan aku selalu disiksanya, walaupun kesalahan itu hanya sepele. Tubuhku melemas, memar, kurus, dan tak berdaya.


Aku adalah orang yang sangat angkuh. Setiap kemauanku harus terwujudkan. Dan hidup ini harus berubah sesuai keinginanku. Sejak kecil, aku adalah gadis miskin yang terbuang dan terdampar dipanti asuhan di ujung jakarta ini. Aku pula yang harus menggantikan temanku untuk diadopsi oleh mereka yang tak beradab. Pada saat itu temanku sedang sakit dan tidak ingin diadopsi, aku menyuruhnya bersembunyi. Jebakan. Ini suatu jebakan bagiku. Dan sangat mengerikan, sehingga akupun membenci temanku itu.

Aku sekarang tidak seperti dulu, yang selalu meratapi keterpurukanku. Semenjak kabur dari rumah setan itu, aku berusaha untuk mandiri, tegar dan kuat melawan kerasnya kehidupan ini. Apapun kulakukan untuk terus hidup. 

Di dalam keangkuhan ini, menjadikan ku benci dengan semua orang. Tapi tidak untuk dia. Yaaaaa... Dia.

***

Sore itu setelah penat bekerja, seperti biasa aku memandangi ruangannya. Dan menyimak apa yang dia lakukan.

Terasa damai dan sejuk jikaku melihatnya. Sosok seperti dirinyalah yang aku impikan. Wibawa, mapan, kaya dan gagah. Aku harus mendapatkannya, dan membuatnya jatuh cinta kepadaku…

Aku selalu melihatmu disini. Memandangmu secara sembunyi. Jarak menjadi pembatas di antara kita. Kau yang cerianya berbincang di sana dan aku yang selalu bahagia, tersenyum melihat tingkahmu. Kadang hilir mudik kendaraan sering menjadi penghalang mata ini memandangmu. Namun ku selalu menunggu dan berdoa ketika kendaraan itu telah pergi, kau masih di sana hingga ku bisa memandangmu sampai ku merasa bosan. 

Bosan? ku tak kan pernah merasakan kebosanan itu ketika mata ini menatapmu. Ternyata tak hanya kendaraan roda dua dan kelipatannya yang menjadi penghalang mata ini. Daun-daun yang tertiup angin dan pun ikut mengganggu. Ingin ku gugurkan semua daun-daun itu, agar penghalangku hanya kendaraan itu saja. Tapi tidak, aku mengurungkan kembali niatku. Aku takut kau akan melihatku. Memergokiku, mendapatiku seperti maling, mencuri-curi memandangmu. Sadarkah kau ada sepasang mata yang selalu memerhatikanku. Melihatmu dalam sembunyi dan selalu mengagumimu dalam hati.

Jendela ini adalah saksi. Ruangan ini adalah sahabatku. Tempat aku berbagi segala perasaanku padamu. Jika ada pengadilan yang mempertanyakan perasaanku. Mereka dengan setia akan bungkam dari bermacam pertanyaan. Karena mereka tau, perasaan ini akan jauh lebih istimewa bila kau tidak mengetahuinya. Aku mengagumimu tanpa ingin memilikimu. Bolehkan, aku mempunyai perasaan seperti itu Tuhan?

Kau, mungkin tak pernah sadar. Bahwa mata ini selalu memandangmu tanpa menghiraukan panggilan di sampingku. Atau, kau mungkin sadar. Bahwa mata ini selalu mengamatimu namun kau menghiraukannya bahwa kau beranggap ada yang salah padamu. 

Andai kau mempertanyakannya. Aku akan selalu menepis, tidak ada yang salah padamu. Aku yang salah, terlalu mengagumimu, terlalu menyayangimu. Hingga ku tak tau bagaimana cara mengendalikannya. Pada jendela ini, entah berapa ratus kali aku memandangmu dan bermain-main dalam ilusiku. Membayangkan yang berbincang-bincang dan bercanda itu adalah aku. Betapa bahagianya. Namun aku pengecut, hanya mampu memandangmu di balik kaca ini.

Titik-titik air pun mulai jatuh, menghapus samar-samar kehadiranmu. Aku hanya mampu menghela nafas dan tak bergeming dari tempatku ini. Kurasakan perlahan, hawa dingin itu menerpa wajahku. Ada yang bersyukur, ketika hujan datang. Karena dengan hujan, kita memenjaranya sementara menikmati kebersamaan itu. 

Aku tidak terlalu menyukai hujan, karena hujan telah menghapus bayangnya dari penglihatanku. Kebersamaan yang ku rasa itu pun memudar. Tapi ku merasa ada untungnya, hujan telah mengaburkan jejak pandangku yang mungkin saja kau mengetahui ada sepasang mata yang selalu memerhatikanmu.

Kini aku memandangi butir-butir air itu. Andaikan aku bisa bebas, berdamai dengan tanah. Menelusuri, berjuang, mencari apa yang di harapkan. Mungkin aku tidak sembunyi di balik jendela ini. Namun ku bukan butir itu. 

Mungkin hanya perasaanku padamu lah yang hanya akan berdamai dengan tanah nanti.  Sepertinya hujan kali ini, tidak memiliki tanda-tanda akan berhenti. Aku menghela nafas sekali lagi. Akankah ku bisa melihat sosokmu kembali. Aku selalu merindunya. Selalu menikmati suasana seperti ini, memandangmu diam-diam. Dan selalu tersenyum betapa ku menikmatinya suasana ini.

2 comments: