Pada akhir 2016 dan awal 2017 ini mencuat pro kontra mengenai verboden tayangan iklan rokok di televisi. Dalam draf RUU Penyiaran versi 7 Desember 2016 Pasal 142 Ayat 2 (i), disebutkan bahwa
materi siaran iklan dilarang mempromosikan minuman keras, rokok, dan zat adiktif lain.
Para aktivis anti rokok dan berbagai organisasi yang peduli terhadap bahaya merokok bagi masyarakat giat mengawal RUU ini agar bisa disahkan oleh DPR RI.
Namun tidak sedikit pula kalangan yang mempertanyakan bahkan menolak pelarangan sama sekali iklan rokok di televisi. Pihak-pihak yang menolak tentu saja terutama adalah dari kalangan industri pertelevisian. Karena tidak dapat dipungkiri belanja total iklan rokok di televisi mencapai Rp 6,3 triliun. Nilai ini lebih besar dari APBD Kota Bandung tahun 2016 yang hanya Rp 6,1 triliun (tahun 2017 APBD Kota Bandung: Rp 7 triliun).
Pihak-pihak yang memperjuangkan agar iklan rokok sama sekali tidak diperbolehkan tayang di televisi beralasan bahwa meskipun iklan rokok sudah dibatasi hanya diperbolehkan tayang selepas pukul 21:30 – 05:00 WIB, namun berdasarkan hasil riset, tingkat paparan remaja dan anak-anak terhadap iklan rokok di televisi masih sangat tinggi.
Pada hasil survey Komisi Nasional Perlindungan Anak di 10 kota pada tahun 2012, ditemukan fakta bahwa 92% anak usia 13-15 tahun melihat iklan rokok di televisi.
![]() |
Acara Talkshow #StopIklanRokok di Wyl's Kitchen Veranda Hotel, Jakarta Dok. Pribadi |
Terlepas dari pro dan kontra mengenai iklan rokok di televisi ini, saya melihat dari sudut pandang lain.
Pertama adalah dari nilai belanja iklan perusahaan rokok di televisi yang begitu besar (total Rp 6,3 triliun). Dengan nilai sebesar itu dana yang dikeluarkan oleh para produsen rokok bisa senilai dengan membangun sebuah kota sebesar Bandung. Kemana anggaran belanja iklan sebesar itu akan dialihkan oleh para produsen rokok, jika RUU Penyiaran berhasil disahkan oleh DPR dengan larangan mempromosikan produk rokok di televisi?
Bukan tidak mungkin anggaran-anggaran belanja tersebut akan beralih kepada dukungan berbagai kegiatan apapun di masyarakat, atau bahkan bukan tidak mungkin anggaran belanja tersebut membanjiri iklan luar ruang di berbagai daerah sampai pelosok Indonesia. Atau yang lebih mudah adalah iklan rokok akan membanjiri berbagai website, blog dan platform aplikasi di media digital.
Jika ternyata belanja iklan rokok akan membanjiri dunia digital, maka para blogger yang berasal dari kalangan TIDAK anti terhadap rokok (bahkan blogger perokok) akan dengan senang hati menerima iklan-iklan rokok di dalam blog mereka. Dengan perkembangan media digital saat ini yang semakin cepat dan terus berkembang pesat, paparan iklan rokok akan semakin sulit untuk dibatasi.
Ini seperti aliran air. Jika ada saluran yang ditutup ‘mati.’ Maka aliran air akan mencari jalan keluar lainnya, atau bahkan bisa membanjiri saluran lain yang memungkinkan. Saya melihat ada resiko besar lain di sini.
Sudut pandang kedua yang saya lihat adalah, para produsen rokok dan agen periklanannya akan mencari cara atau celah agar mereka tetap bisa belanja iklan di televisi dengan cara (misalnya) mereka beriklan kegiatan yang mereka sponsori TANPA sedikit pun terpampang logo rokok mereka dalam kegiatan tersebut. Dengan begini iklan ini bisa tayang bebas di jam berapa saja di televisi.
Strategi ini bukannya baru. Iklan kegiatan tanpa embel-embel rokok ini (meski disponsori oleh produsen rokok) sudah dilakukan bahkan saat ini. Saya contohkan sebuah kegiatan bernama PRO JAM, yaitu sebuah kegiatan anak muda yang hobby dengan ‘extreme game’ seperti skateboarding, roller, dan sepeda BMX. Iklan ini tayang di jam-jam mana saja, termasuk di prime time.
Dalam iklan tersebut tidak sedikit pun ada logo produsen rokok tersebut. Hanya kalau kita jeli dan paham bahwa kata “pro” dalam kegiatan tersebut dan tekanan pada huruf ‘o’ atau lingkaran merah yang menonjol di beberapa bagian tempat penyelenggaran acara, akan mengantarkan kita pada sebuah merk rokok tertentu.
Berdasarkan 2 sudut pandang saya di atas, maka pendapat saya dalam soal larangan iklan rokok di televisi, tidak perlu dilarang total, hanya diperketat saja aturannya. Semisal iklan rokok hanya boleh tayang pada pukul 00:00 – 00:04, misalnya (hanya 4 jam di dini hari), yaitu pada jam-jam ‘kunti dan ponci’ beroperasi.
No comments:
Post a Comment